//
you're reading...
FILM & TV

In The Name of Love

Akhirnya kesampaian juga niat saya untuk menonton In The Name of Love (ITNL). Usai meeting dengan klien di Mahakam kemarin, saya langsung melangkahkan kaki ke Plaza Blok M. Tidak perlu antri, saya langsung pesan satu tiket.

Penilaian pertama saya, tidak salah Christine Hakim, aktris kawakan tanah air, memilih ikut main dalam film ini. ITNL bisa dikatakan salah satu karya terbaik Rudy Soedjarwo, sejauh ini. Alur cerita yang lambat tapi padat menjadi salah satu kekuatan ITNL. Ya, walaupun memakan durasi tayang lebih dua jam dengan menghadirkan sekian banyak tokoh dengan karakter dan kepentingannya masing-masing, saya tidak dibuat bosan menontonnya. Setiap karakter memberi bobot tersendiri pada cerita. ITNL ingin mengatakan bahwa selalu ada keberagaman sikap dalam keluarga, bahkan ketika mereka menghadapi “musuh bersama”, permusuhan antara keluarga Negara dengan keluarga Hidayat.

Dari awal, Rudy membiarkan penonton untuk lebih mencermati akibat dari permusuhan keluarga tersebut kepada anak-anak mereka. Tentang akar sebenarnya permusuhan tersebut masih terus menjadi tanda tanya hingga lebih dari sejam waktu tayang. Ketidaktahuan akar permusuhan ini pulalah yang membuat Saskia Putri Negara (Acha Septriasa) nekad untuk menjalin kisah asmara dengan  Abimanyu Hidayat (Vino G. Sebastian). Bahkan ketika Abi berada dalam keraguan, Saskia lah yang memberi kekuatan.

Kisah cinta mereka menjadi pemicu kian gentingnya permusuhan keluarga Hidayat dan Negara. Bahkan sampai memakan korban segala. Untunglah masih ada di antara mereka yang mencoba bersikap bijaksana, walaupun sikap tersebut relatif terlambat.

Hadirnya aktor-aktor lawas seperti Roy Martin, Christine Hakim, Cok Simbara dan Tutie Kirana memberi kekuatan tersendiri pada film ini. Akting mereka cukup menawan, terutama Christine dan Cok. Setiap raut wajah mereka memberi penekanan tersendiri.

Bagaimana dengan para generasi penerus mereka? Menurut saya, hanya Acha dan Yama Carlos yang patut diacungi jempol. Acha bisa memainkan watak keras dan rapuh sekaligus. Sementara Yama, yang berperan sebagai Panji, cukup kental dengan watak kerasnya.

Satu hal yang mengganggu saya adalah perpindahan dari satu scene ke scene lain yang terkadang terasa patah. Kenikmatan saya menonton juga terganggu dengan pengambilan gambar di berbagai adegan yang cenderung kurang pas, sehingga sesuatu yang seharusnya sangat dramatis menjadi kurang terasa dramatis. Mungkin sudah saatnya Rudy Soedjarwo tidak merangkap sutradara sekaligus DOP dalam film-filmnya. Memang kecenderungan terakhir Rudy untuk bermain close up dan extrem close up dalam gambar-gambarnya cukup berhasil menghadirkan dramatisasi, tapi di adegan tertentu, permainan kamera tersebut bisa berakibat sebaliknya.

Satu hal yang pantas juga dicatat adalah keberanian Rudy untuk menggantung cerita. Sepengetahuan saya, baru kali ini ada film Indonesia yang dengan tegas mengatakan bakal ada sekuel berikutnya. Sebuah resiko bisnis yang pantas diambil bukan? ***

Discussion

No comments yet.

Leave a comment

ARSIP

Silahkan tulis email Anda untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini

Join 103 other subscribers